Dalam catatan kali ini
saya akan mencoba mengawalinya dengan kritik Edward Said terhadap sebuah Novel
yang sangat tersohor karya Jane Austen, seorang novelis wanita dari inggris
kelahiran 16 December 1775 – 18 July
1817. Dalam novelnya Mansfield
Park Austen menggambarkan pesona tentang Mansfield Park yang berada di wilayah Northampton, Mansfield Park oleh Jane Austen digambarkan
sebagai sebuah wujud atau cita rasa tentang gaya hidup yang mengokohkan
symbol-simbol corak budaya imperialis ketimbang Antigua yang miskin, yang
nestapa, primitive serta sarat dengan nuansa pengumbaran birahi semata oleh
masyarakat mereka. Edward said memang tidak hendak menuduh Austen lewatr
karyanya sebagai agen imperlialisme Inggris kala itu, yaitu terkait dengan isu
perbudakan yang lepas dari diskursus Austen dalam novelnya.
Hal tersebut telah
diutarakan oleh beberapa penulis yang meneliti tentang karya-karya Edward Said
diantaranya adalah Shelley Walia yang dalam bukunya Edward Said and Writing History mengungkapkan bahwa:
Take,
for instance, Jane Austen’s Mansfield Park. Said’s reading of it goes beyond
the canonical view which either speaks of Austen’s lack of interest in colonial
history or of her exaggerated concerns with domestic issues Said contextualises the novel
within the areas of private domination and slavery. Sir Thomas Bertram’s absence
from Mansfield Park for taking care of his agricultural enterprise in Antigua is
necessary to maintain a certain order and a lifestyle back home; trade in
slaves and sugar takes care of prosperity on the domestic front where the ambience
of the imperialist culture pervades every aspect of life[1].
Pertanyaan kali ini
adalah ada hubungan apa dengan kritik Edward Said terkait karya Austen dan terhadap Pemikiran yang telah di torehkan
oleh David Ricardo yang akan dibahas berilutnya? Tentunya kritik Edward Said
menjadi sangat patut kita pertimbangkan karena dalam tadisi atau sejarah
pemikiran ekonomi ide imperialisme ataupun kolonialisme ekonomi secara
ideoligis terpengaruh oleh pemikiran dari aliran klasik seperti Smith, Say,
David Ricardo beserta penganut Smithian lainnya. Karena sejarah telah bersaksi
bahwa dokrin tentang Laissez Faire yang telah menciptakan peradaban dunia.
Dokrin Laissez Faire juga di anut oleh David Ricardo dalam beberapa karyanya,
kali ini sebelum terlalu jauh untuk sedikit memahami karya sang ekonom kaya
raya tersebut setidaknya perlu kita ketahui sedikit tentang biografi sang
pemikir ekonomi yang controversial tersebut. Setidaknya dengan memahami
biagrafi atau riwayat sang pemikir ekonomi Inggris ini, kita akan sedikit
mendapat gambaran terkait alur fikirnnya.
I
Biografi singkat David Ricardo
Nama David Ricardo
memang sering menjadi pembicaraan oleh para ekonom sesudahnya, cerita mereka
tentang Ricardo kadang bernada sumbang dan kadang juga memuja bahkan menyanjung
kontribusi pemikirannya. David Ricardo adalah seorang ekonom yang dilahirkan di
Inggris pada 18 April 1772 dan meninggal pada 11 September 1823. Ia
dilahirkan dari keluarga Yahudi yang kaya raya, Ricardo adalah anak ketiga dari
17 bersaudara, tapi menurut Sraffa seorang penulis yang mengkaji tentang
Ricardo sekaligus Ricardian mengatakan bahwa Ricardo tidak hanya memiliki
sadara 17 tetapi 23 bersaudara. Ayahnya yang bernama Abraham Israel Ricardo
memang seorang Yahudi yang sangat konservatif, bahkan ketika Ricardo menikah
dengan seorang pengikut Quaker (Organisasi Religius Kristen) bernama Priscilla Anne Wilkinson tidak mendapatkan restu
dari kedua orang tuanya.
Pernikahannya pada tahun 1793 tidak hanya menjadi tonggak awal dalam
sejarah biologisnya tetapi juga kehidupan perekonomiannya, karena pada tahun
tersebut Ricardo di usir oleh keluarganya sehingga Ricardo dicabut hak
warisnya. Meskipun beberapa waktu kemudian ayahnya berdamai dengan Ricardo, meskipun
tanpa support dari keluargannya akhirnya pengembaraannya untuk terjun di dunia
bisnis ia mulai dengan membawa beberapa pound kemudian Ricardo mulai terjun ke
dunia perdagangan saham.
Perlu kita ketahui bahwa setelah kepergian Ricardo dari keluarganya ia
menitih karirnya menjadi raja jual beli saham. “konon dia memiliki kecepatan
luar biasa dalam memperkirakan pendapatan pasar dari setiap perbedaan asidental
dari harga yang relative dari harga saham yang berbeda(obligasi pemerintah)[2]. Kemahirannya
memprediksi saham memang bukan tanpa alasan karena pada usia 14 tahun dia sudah
bekerja untuk membantu ayahnya menjadi anggota di London Stock Exchange[3]. Minatnya untuk
mempelajari ekonomi lahir manakala ia membaca karya Smith The Welath of Nations pada tahun 1799 ketika ia tengah
merampungkan studinya di Bath. Baru pada tahun 1815 ia sudah mualai menggarap
magnum-opusnya Prinsiples of Political
Economy and Taxation yang ia selesaikan pada tahun 1817. Dan selang dua tahun
kemuadian karir politiknya didapatkan ketika berhasil menduduki kursi parlemen
pada tahun 1819.
Pada masanya Ricardo memang sangat dekat dengan beberapa ekonom besar
seperti Robert Malthus, James Mill (Ayah Ekonom John Struart Mill)
sampai-sampai setelah ia meninggal ia mewariskan hartanya kepada dua kawannya
tersebut. Meskipun hidup se-zaman dengan JB Say namun mereka memiliki perbedaan
pandangan dalam memahami teori ekonomi terutama dalam perdebatan terkait
matematika ekonomi yang sudah saya singgung dalam catatan saya sebelumnya
terkait JB Say. Selain itu Ricardo juga teman yang lainnya adalah Jeremy
Bentham, dan ia pun masuk dalam anggota London's
intellectuals, menjadi anggota Political
Economy Club yang digawangi oleh Malthus.
II Ide Serta Kritik David Ricardo
David Ricardo memang dikenal sebagai pemikir ekonomi yang banyak
mendapatkan pujian dan kritikan pula. Anasir-anasir pemikirannya banyak menuai
pro dan kontra di kalangan ekonom, akademisi serta praktisi. Bahkan ekonom
seperti Ronald Coase[4]
juga akat bicara dan mengatakan kalau pemikirannya lebih pantas di sebut
sebagai “ekonomi papan tulis” (Coase 1992: 714). Kritik Coase mungkin cukup
beralasan karena dogma Ricardo terhadap matematika ekonomi yang sebelumnya
pernah di kritik oleh JB Say yang kemudian Say menyebutnya dengan teorisasi
abstrak yang tanpa melihat konteks sejarah. Say kemudian memberinya label
kepada pendukung matematika sebagai “para
penghayal belaka”[5]
namun disisi lain ada beberapa sumbangan positif yang telah di lahirkan
oleh sang pemikir ekonomi kaya tersebut. Kontribusi ide serta pemikiran Ricardo
antara lain:
1. Kritik terhadap Bank of England.
Dari konteks sejarah kita dapat menerawang ketika pada tahun 1809 sampai
dengan 1810 Inggris terperosok kedalam kubangan inflasi yang sangat dalam.
Gejala inflasi tersebut terjadi karena kebangkrutan Inggris dalam membiayai
perang, selain itu juga inflasi disebabkan oleh pencabutan standar emas oleh Bank of England. Dalam essay pertamanya The High Price of Billion Ricardo sangat
mengecam keras terkait kebijakan yang dilakukan oleh Bank of England yang terlalu gegabah dalam menerbitkan uang kertas (banknote) secara berlebihan. Pendapat
ditegaskan oleh Mark Skosen yang mengatakan bahwa:
[….]
in which he argued that his country’s inflation wascaused by the Bank of
England issuing excess bank notes. Ricardo was a believer in a rigid quantity
theory of money, a view held by David Hume and others that the general price
level was closely related to changes in the quantity of money and credit[6].
Kritik Ricardo terkait dengan
kebijakan tersebut memang cukup memberi sebuah tekanan yang sangat berarti bagi
Bank of England dalam bukunya Prinsiples of Political Economy and Taxation
ia menawarkan sebuah solusi untuk dapat memulihkan situasi keuangan di Inggris
yang kala itu benar-benar berada titik tergenting, Ricardo mengataka:
The remedy which I propose for all the evils in
our currency, is that the Bank should gradually decrease the amount of their
notes in circulation until they shall have rendered the remainder of equal
value with the coins which they represent, or, in other words, till the prices
of gold and silver bullion should be brought down to their Mint price.[7]
Distorsi yang
diakibatkan oleh adanya inflasi tersebut memang membawa Inggris ke dalam
keadaan yang sangat nestapa, belum lagi beban biaya untuk perang yang mau tidak
mau selauruh rakyat Inggris pula lah yang harus menanggung resikonya.
2.
Pengembangan Model Jagung (Corn Model)
Istilah jagung (corn)
di inggris memiliki makna ganda yaitu bisa juga bermakna gandum dan hasil
pertanian lainnya. Pada tahun 1815 Ricardo dan Malthus merancang sebuah proyek
yang outputnya adalah sebuah buku yang berjudul Essay on the Influence of Low Price of Corn on the Profits of Stock
dalam buku tersebut Ricardo dan Malthus mengembangkan hukum pendapatan yang
menurun atau berkurang. Dalam pengambangan hukum pendapatan tersebut mereka
berdua melakukan sebuah asumsi pendapatan dengan mengabstraksikannya pada
produksi jagung kala itu. Dalam model jagung Ricardo ini semua input (tanah,
tenaga kerja, capital atau modal) dikaitkan dengan harga jagung. Mark Skousen
berhasil merangkum model jagung yang di konsepsikan oleh Ricardo sebagai
berikut.
Saat tenaga kerja bertambah, diperlukan pula
penambahan tanah untuk penambahan hasil-sebab tanah yang sudah dipakai
berkurang kesuburannya atau produktivitasnya. Bahkan jika ditambahkan lagi
tenaga kerja dan modal untuk kuantitas tanah yang sama, hasilnya akan tetap
sama atau tidak bertambah. Akibatnya output bersih akan menurun dan pertambahan
ekonomi akan merosot[8].
Akan tetapi kemudian model jagung tersebut tidak memiliki pengaruh
terhadap peningkatan perekonomian, dan akibat kegagalan tersebut akhirnya
Ricardo memutar haluan (tidak sepaham dengan idenya sendiri yang ia kembangkan
bersama dengan Malthus) ia justru menentang apa yang ia kembangkan terkait
model jagung tersebut. Ricardo justru berfikir berbalik dari ide sebelumnya,
karena pandangannya terkait dengan penggunaan model jagung, karena dianggap
tidak tepat jika harus melakuakan penambahan tanah dan memberikan upah tetap
itu sangat tidak mungkin. Ketidak mungkinan tersebut dikarenakan dengan
penambahan upah pekerja justru akan meningkatkan kualitas hidup pekerja yang
kelak akan melahirkan idenya tentang hukum upah besi dan keuntungan komparatif
dikemudian hari. Kemudia perubahan haluan tersebut juga digambarkan dalam
pandangan Ricardo yang telah diulas oleh skousen:
Dengan menginport lebih banyak jagung atau bahan
pertanian lainnya dan menurunkan harga, para petani akan menurunkan upah,
menikmati keuntungan yang lebih banyak, memicu lebih banyak infestasi dan oleh
karena itu akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.[9]
Kegagalan
Ricardo dalam proyeknya bersama Malthus dengan menggunakan model jagungnya
tersebut justru kelak akan melahirkan idenya terkait “keunggulan komparatif”
yang tentunya akan menjadi influence
atau landasan ideologis terhadap bergaungnya ide tentang kolonialisme ekonomi
yang tentunya menjadi embrio perdagangan bebas atau ekonomi liberalisme.
3.
Paradoks Hukum Keuntungan Komperatif
Ricardo
Ketika kita melihat apa
yang telah banyak diungkapkan oleh David Ricardo dalam traktatnya On the principles of political economy, and
taxation, Ricardo banyak membicarakan tentang adanya hukum keuntungan
komparatif. Hukum keuntungan komparatif yang Ricardo ilustrasikan ialah dalam
traktat tersebut ia memotret fenomena tentang produksi anggur di Portugal dan
Produksi pakaian di Inggris. Dalam traktat setebal 483 halaman tersebut Ricardo
mengungkapkan:
The
quantity of wine which she shall give in exchange for the cloth of England is
not determined by the respective quantities of labour devoted to the production
of each as it would be if both commodities were manufactured in England or both
in Portugal England may be so circumstanced that to produce the cloth may
require the labour of 100 men for one year and if she attempted to make the
wine it might require the labour of 120 men for the same time England would
therefore find it her interest to import wine and to purchase it by the
exportation of cloth.
To
produce the wine in Portugal might require only the labour of 80 men for one
year and to produce the cloth in the same country might require the labour of
90 men for the same time It would therefore be advantageous for her to export
wine in exchange for cloth This exchange might even take place notwithstanding
that the commodity imported by Portugal could be produced there with less
labour than in England Though she could make the cloth with the labour of 90
men she would import it from a country where it required the labour of 100 men
to produce it because it would be advantageous to her rather to employ her
capital in the production of wine for which she would obtain more cloth from
England than she could produce by diverting a portion of her capital from the
cultivation of vines to the manufacture of cloth[10].
Dalam
pandangan Ricardo yang terdapat kutipan diatas, kita dapat menganalisis bahwa
untuk mendapatkan kuantitas dari hasil produksi anggur, untuk melakukan
pertukaran perdagangan menjadi sebuah keniscayaan karena produksi anggur di
Portugal memang tidak secara determinasi berhubungan dengan kuantitas
pertumbuhan atau peningkatan secara kuantifikasi dari pertumbuhan buruh semata,
akantetapi disini Ricardo menekankan dengan adanya keuntungan komparatif yang
harus dimiliki oleh kedua negara dalam hal ini Inggris dan Portugal yang
menghasilkan dua komoditas yaitu pakaian dan anggur. Di Inggris diperlukan 100
pekerja untuk memproduksi pakaian sedangkan diperlukan 120 tenaga kerja untuk
memproduksi wine. Sedangkan di Portugal untuk memproduksi wine diperlukan
diperlukan sedikit pekerja untuk memproduksinya, akantetapi Portugal tidak
memiliki kemampuan atau keunggulan dalam meproduksi pakaian karena diperlukan
tenaga kerja yang lebih banyak ketimbang di inggris.
Jadi
sekali lagi ini yang menjadi legitimasi yang mengharuskan diberlakukannya
kebijakan memberikan ruang selebar-lebarnya untuk melakukan manfaat komparatif
dalam perdagangan. Sama dengan Smith yang mngusulkan adanya defision of labour, Ricardo juga
menyarankan bahwa perlu adanya spesialisasi yang bersifat memaksa, pada
Negara-negara yang memiliki perbedaan sumberdaya, cost produksi dan tenaga
kerja, agar Negara-negara tersebut dapat berproduksi secara maksimal dan
efisien. Dengan kata lain diskursus yang di lontarkan oleh Ricardo telah
membawa pada suatu keadaan bahwa forced
specialization pada perdagangan antar Negara sangatlah
diperlukan, seperti yang ia ilustrasikan pada contoh perdagangan anggur dan
pakaian di Portugal dan Inggris.
Namun
basis teoritis yang di ungkapkan oleh Ricardo lagi-lagi menjadi salah satu
legitimasi barat untuk memberlakukan hal yang sama terhadap bangsa-bangsa yang
ada di Asia, Afrika dan Amerika Selatan. Lagi-lagi barat menjadikan liberalisme
kalsik sebagai landasan teoritis ekonomi kolonialisme yang kemudian menyeret Negara-negara
Asia, Afrika dan Amerika Selatan ke dalam kubangan penderitaan. Dari sini dapat
kita lihat bahwa pemikir-pemikir ekonomi klasik seperti Smith dan Ricardo
menjadi pemicu dibukanya liberalisasi ekonomi atau perdagangan bebas.
Seperti
yang telah saya singgung dalam awal catatan ini bahwa dokrin yang lemparkan
oleh para pemikir klasik ternyata seperti dua mata pisau yang disatu sisi
membawa atau membuka peradaban baru bagi masyarakat Asia, Afrika dan Amerika
latin untuk tunduk melalui budaya barat, akan tetapi barat juga melakukan
eksploitasi terhadap budak yang termanifestasi melalui perdagangan budak yang
tidak berhasil ditangkap atau di uraikan oleh Austen dalam novelnya tersebut.
Ini
yang mungkin dapat kita lihat sebagai paradoks dari hukum keuntungan komparatif
yang didesain oleh Ricardo. Akantetapi disisi lain landasan ideology yang
dikumandangkan oleh Ricardo justru menjadi seruan untuk melakukan ekspansi
territorial yang kelak akan melahirkan kolonialisme perdagangan.
4.
Hukum Upah Besi dan Penurunan Profit
Dari
pandangan hukum inilah kemudian Ricardo mendapatkan kecaman secara membabi
buta. Hukum ini tentunya akan berakibat tragis untuk semua orang, kecuali untuk
pemilik tanah. Menurut Ricardo buruh yang ia maksud adalah unit-unit yang
seperti mesin-mesin produksi dan hanya mendapatkan upah subsistem dalam jangka
panjang.
Pendapatnya
laksana godam yang menghantam sekujur masyarakat khususnya buruh. Dengan tegas
Ricardo mengatakan:“In proportion then as
wages rose, would profits fall” (Ricardo 1951, vol. I: 111). Ricardo
memiliki asumsi bahwa ketika upah pekerja naik, maka pekerja akan memiliki
banyak anak, yang nantinya akan meningkatkan pasokan (supply) tenaga kerja, dan memaksa untuk upah tesebut turun
kembali. Jadi sudah nampak gamblang bahwa hukum upah besi yang di utarakan oleh
Ricardo menghadirkan gambaran tragis dan nestapa untuk pekerja atau buruh.
Gambaran
muram yang disajikan oleh Ricardo secara kasat dapat kita kritisi, apakah
dengan meningkatnya pendapatan atau gaji buruh maka akan menjadi reactor untuk
pertambahan penduduk?.
Bertambahnya
penduduk menjadi momok yang menakutkan bagi Ricardo dengan asumsi bahwa ketika harga
gandum kala itu mengalami kenaikan, tentunya pemilik tanah akan mengalami
keuntungan. Tetapi disatu sisi apakah dari penerapan hukum upah besi Ricardo
tersebut akan berakibat pada naiknya komoditas atau semua kebutuhan-kebutuhan
pekerja atau buruh? Kemuadian apakah dengan meningkatnya kesejahteraan karyawan
akan berimbas pada meledaknya jumlah penduduk? Saya rasa kita perlu memikirkan
kembali apakah pandangan Ricardo masih relefan? Ketika peningkatan upah di
negara berkembang mengalami keningkatan apakah akan berkorelasi terhadap
meningkatnya jumlah penduduk pula?.
[1]
Shelley
Walia yang dalam karyanya Edward Said and
Writing History kurang lebih mengatakan: Ambilah contoh, karya Jane Austen Mansfield Park. Pembacaan said atas
karya itu melampaui pandangan kanonik (kanonik; berasal dari kanon istilah
kanon menegaskan suatu eksistensi kelompok yang berkuasa yang mencipta
kebudayaan klasik melalui prinsip dan pencakupan secara arbitrer) pandangan
kanonik tersebut dilihat yaitu dengan berbicara tentang kurangnya perhatian
Austen terhadap sejarah colonial ataupun perhatiannya yang terlampau
dibesar-besarkan terhadap isu-isu dalam negeri. Said mengkontekstualisasikan
novel itu didalam wilayah dominasi privat dan perbudakan. Kepergian Sir Thomas
Bertram dari Mansfield Park untuk mengurus usaha pertaniannya di Antigua
(sekarang kita kenal dengan daerah wadadli di kawasan india barat) diperlukan
untuk memelihara tatanan dan gaya hidup tertentu; perdagangan budak, dan gula
hanya dilihat sebagai upaya untuk memelihara kesejahteraan dalam
lingkupdomestik dimana corak budaya imperialais menyusup ke segenap aspek
kehidupan. Lebih lengkapnya lihat Shelley Walia dalam Edward Said and Writing History Edward Said and Writing History, p50.
[2] Lihat Mark Skousen, “The Making of Modern Economics The Lives and the Ideas of the Great
Thinkers”, M.E.
Sharpe, New York, 2001, p 96
[3] Lihat Steven G.
Medema dan Warren J. Samuels dalam “The
History of Economic Thought: A Reader” Routledge, London, 2003, p 235.
[4] Ronald Harry
Coase seorang ekonom Amerika kelahiran Inggris pada 29 Desember 1910 dia
seorang professor emeritus ekonomi di University
of Chicago Law School. Ia banyak menulis buku-buku dan esay terkait politik dan
ekonomi serta filsafat.
[5]
Lebih
detailnya lihat Mark Skousen opcit pg 94.
[6] Ibid, pg 98.
[7] Dalam Prinsiples
of Political Economy and Taxation Prinsiples of Political Economy and Taxation Ricardo Mengatakan bahwa “Pemecahan yang
saya tawarkan untuk menanggulangi persoalan dalam keuangan kita adalah Bank
harus pelan-pelan menurunkan uang yang beredar sampai sebanding dengan logam
[mulia] yang di presentasikannya atau dengan kata lain sampai harga emas dan
perak turun senilai mata uangnya”, lebih detailnya lihat Ricardo Prinsiples of Political Economy and Taxation
Prinsiples of Political Economy and Taxation pg. 287.
[8] Mark Skousen
dalam “Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern: Sejarah Pemikiran Ekonomi”,
Prenada, Jakarta, Edisi 3, 2009, page 123.
[9] Ibid pg 124
[10] Lihat David
Ricardo dalam, On the principles of
political economy, and taxation, London 1821, pg. 140-141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar